
Namun, biarlah semua ini dengan ilmu dan penuh rasa ‘ukhuwwah islamiyah’. Jika sebaliknya yang berlaku seumpama caci memaki di antara satu sama lain, sekat dan hentikanlah. Itu bisa bertukar menjadi fitnah. Tiada gunanya diteruskan karena tujuan sudah berubah kepada hendak berlawan kepada saudara sendiri.
Cukup penting memahami landasan seperti ini. Memang susah untuk menanam kepercayaan dan memperoleh hati semua pihak. Apa yang penting, jangan takut bersuara membetulkan keadaan walau sekedar menulis yang benar.

Prinsip beragama seperti ini perlu diingatkan dan diubah, terutama bermula dari diri kita sendiri saja. Seseorang itu perlu menukar prinsip-prinsip asas keagamaannya dari mendengar cerita ustadz kepada memegang dalil dan hujah; hujah yang berasal dari nash Al-Qur’an dan Al-Hadist yang sahih. Jikalau ada apa-apa yang benar maka pegangilah ia karena nash yang membenarkan, bukan ustadz yang membenarkan. Jikalau ada apa-apa yang dilarang maka jauhilah ia karena nash yang mencegahnya dan bukan ustadz yang melarangnya.

Tak perlu “menegakkan benang yang basah”. Berdebat, bertikai, apalah lagi bermusuhan. Kita sekedar menyampaikan dan menjelaskan, namun jikalah ada yang tersilap, harap dinyatakan dimana silapnya dengan seikhlas ukhuwah. Katakan dengan penuh rendah hati “Silahkan datangkan dalil AL-QUR’AN DAN AS-SUNNAH YANG SOHIH sekiranya saudara dipihak yang benar, aku akan mengikuti kebenaran”.
Akhir kata, jikalau ada sembarang permasalahan agama maka carilah ustadz atau ustadzah yang akan menerangkan permasalahan tersebut berdasarkan dalil al-Qur’an dan al-Hadist kemudian perpeganglah kepada dalil-dalil tersebut, bukan kepada ustadz atau ustadzahnya karena mereka hanya bertindak sebagai pihak yang menyampaikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar